Sabtu, 26 Maret 2011

Pesona Hutan yang Tersisa

PESONA HUTAN YANG TERSISA
Pohon-pohon menjulang tinggi menggapai langit, daun - daunya rimbun memayungi bumi dibawah sorot matahari. Sesekali angin bertiup sehingga bayang-bayang kerimbunan nampak jelas menari gemulai menyebarkan cahaya mentari keseluruh sudut, silih berganti sebagian terang sebagian gelap membuat kilauan bagai kerlap-kerlip lampu dan udara yang bergerak membelai lembut menyentuh kulit . Entah berapa jumlah flora tumbuh disini, di sela-selanya tumbuh ilalang yang kadang tingginya melebihi tinggi badanku.
Ramainya kicauan burung, suara – suara serangga dan teriakan kera bersahut-sahutan menjadi konser musik sehari-hari yang kini kudengar. Udara yang segar membuat alveolusku mengembang penuh sesak dengan oksigen, selalu kuhirup dalam-dalam dan kutahan perlahan untuk kuhembuskan. Kakiku kubiarkan bermain-main dengan tanah yang sebagian tertutup rumput hijau dengan daun – daun kering dan ranting-ranting patah yang berserakan, aku tak risau untuk tidak melindunginya karena aku ingin menebus keterasingannya selama ini yang selalu kupaksa terbungkus kaos kaki dan sepatu atau terkadang sandal jepit karena memeliharanya agar tidak tercemar kuman. Disini aku tidak takut dengan semua bayang-bayang kekhawatiran itu karena disini aku menemukan wilayah yang ramah, sinergi dan berproses dengan alamiah.
Empat bulan sudah kami sekeluarga mendiami hutan yang tak bersertifikat ini, demikianlah status kepemilikkan hutan-hutan kita, tak bertuan, sehingga dengan mudahnya oknum-oknum memindahkan kepemilikannya hanya untuk memperkaya diri, melakukan pemusnahan hutan. Akibatnya kita kehilangan lahan hijau sampai 7,2 hektar setiap menitnya(*), padahal kita membutuhkannya untuk menyangga air hujan agar kita selamat dari luapan banjir dan longsor.
Kehidupan kota yang semakin tidak nyaman, sering menjadikan kita hanya sebagai robot – robot yang dikontrol ego, memandang sesama hanya dari materi dan bisnis ( ikatan untung rugi ), semakin menjauhkan manusia dari fitrah, itulah alasan kami migrasi meninggalkan kehidupan yang telah menyengsarakan nurani.
Kini aku menikmati sekali kehidupan baruku bersama keluarga, masa lalu yang merupakan mimpi buruk tinggal kenangan pahit, segalanya terbayar dengan melihat keragaman warna-warni hayati yang indah dan lincahnya fauna yang hiruk pikuk dengan kegembiraannya. Tak henti-hentinya kami sekeluarga berlomba menemukan jenis flora atau fauna baru bahkan tempat-tempat baru yang semuanya menakjubkan.
Langkahku pagi ini telah menuntunku sampai di area yang sangat lapang. Hangatnya mentari mengirimkan foton – foton yang bertaburan disekujur kulit tubuhku yang kubiarkan bernapas mengeluarkan butir-butir keringat.
Nampak sepasang capung jarum sedang kawin bergerak tiada henti menyentuh dedaunan, serangga - serangga terbang kian kemari hinggap mencari bunga-bunga yang menggeliat mekar.
(*) Majalah Enviroment, edisi maret.
Sejauh mata memandang hanyalah hutan lebat penuh dedaunan. Sirih belanda tumbuh menjalar dibatang pohon dengan daun yang besar-besar kira-kira dua kali telapak tangan orang dewasa, warnanya hijau segar dengan garis-garis putih tak beraturan, menandakan lahan yang subur. Dibeberapa pohon turut menumpang tumbuh semacam pakis dengan daun yang berukuran besar-besar sebagian menjuntai kebawah, seakan mengimbangi lahan yang sangat luas ini. Deretan pohon-pohon yang daunnya tertiup angin mengalun gemulai, memandanginya seakan melihat rambut ikal lebat yang bergerak – gerak.
Dibelakangku terdengar langkah kaki mungil berlarian menghampiri seraya memanggilku, mereka adalah kedua anak-anakku, terpancar kegembiraan dengan fisik yang sehat , hanya warna kulit mereka agak gelap dan tidak semulus dulu, bagian lengan dan kaki mereka terdapat goresan-goresan terkena duri-duri dan ranting-ranting saat mereka ikut bereksplorasi mengenali lingkungan barunya. Selama ini aku tak pernah melihat mereka kelelahan berlarian di hutan dengan bertelanjang kaki dan memegang sepotong ranting ditangan ( adalah menjadi kebiasaan baru mereka).
Dulu aku sering terenyuh melihat mereka mengendong ransel dipunggung dengan terbungkuk-bungkuk keberatan dan berkutat dengan pensil siap ditangan, kadang mereka harus menerima umpatan/teguran/ancaman dari guru-guru mereka sehingga tak henti-hentinya aku mendengar rengekan mereka untuk berhenti sekolah ( “maafkan kami nak” ). Tetapi kini mereka belajar bersama alam sekitarnya dengan gembira, tak ada jadwal kapan mereka perlu memulai dan berhenti belajar. Setiap hari kami bersama, membicarakan, mencari dan mengetahui hal – hal baru di hutan ini.
Sesampainya di dekatku mereka langsung bergulingan di tanah yang penuh ditumbuhi rumput, sebagian daunnya masih basah oleh sisa embun yang belum sempat menguap.
Celoteh dan teriakan mereka adalah peserta baru dari konser musik itu, kubiarkan mereka asyik berdua tertawa – tawa kadang berkejaran.
Kemarin kami gembira bermain di sungai yang airnya mengalir jernih jatuh dari atas tebing, berenang dan berendam. Aliran air sepanjang sungai dipenuhi batu-batu kerikil dengan beberapa batu – batu besar yang dapat ditiduri, kira – kira 150 meter dari kucuran air terjun terdapat pertigaan yang satu sisinya hanyalah tanah bercampur batu-batu dan sisi satunya aliran sungai panjang yang ujungnya belum sempat kami telusuri, tentu mereka akan gembira bila pulangnya ku ajak kembali kesana dan setelah itu mereka akan sangat lahap menyantap masakanku tanpa aku harus bersitegang menyuruh mereka makan.
Gubuk kami adalah rumah semacam joglo yang sengaja kami pesan dan bawa ke hutan ini, kami memasangnya di bantu penduduk setempat yang kami temui ketika kami melewati desa mereka. Mereka merasa heran bercampur senang tetapi tetap ramah seperti layaknya warga desa kebanyakan. Nyaman sekali, matahari, angin bergerak bebas tanpa penghalang sehingga setiap saat kami bermesraan, berasyik masyuk. Semoga begitupun yang dirasakan alam dengan kehadiran kami.
Selamat tinggal freon, polietilen, karbondioksida, fluoride, asam benzoat, aspartan, MSG, natrium nitrat, hujan asam, merkuri, timbal, arsen, makanan transgenik dan berjuta – juta zat lainnya yang telah membuat kami merana.
Bogor, Maret 2007
Irni Desira

1 komentar: